Jumat, 31 Januari 2014

Pluralisme Hukum Waris Adat, Hukum Waris BW dan Hukum Waris Islam

Hukum Waris merupakan salah satu hukum yg ada di Indonesia yg tentunya mengatur tentang pewaris, ahli waris dan sistem hukum kewarisan yang adaPluralisme hukum waris diperlukan karena ada beberapa jenis sistem hukum waris yang ada di Indonesia.

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
            Manusia adalah makhluk sosial, manusia tak bisa hidup dengan bantuan orang lain. Hakikat tersebut sudah jelas dan terbukti kebenaraanya di dunia nyata. Berinteraksi merupkan salah satu bentuk bahwa manusia merupakan makhluk sosial, mulai dari berinteraksi secara individual, keluarga, serta di dalam masyarakat. Didalam keluarga tentunya ada banyak aspek yang menentukan kesuksesan interaksi atau kerukunan antara anggota keluarga. Seperti halnya penentuan warisan yang menenentukan hubungan baik antara anggota keluarga. Warisan selalu menjadi “rebutan” antara pihak - pihak keluarga (ahli waris) yang menginginkan suatu harta cuma – cuma dari orang yang sudah meninggal (pewaris) di dalam keluarganya.
            Di Indonesia terbagi menjadi 3 hukum yang mengatur tentang kewarisan yaitu Hukum Waris Perdata (BW), Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris Islam. Keanekaragaman hukum waris yang ada di Indonesia tentunya perlu di jelaskan pada masyarakat agar tidak keliru terhadap suatu penyelesaian masalah kewarisan yang sedang masyarakat alami.
2.      Rumusan Masalah
Pluralisme Hukum Waris di Indonesia sebenranya perlu ditegaskan perbedaan serta penggolongannya kepada masyarakat. Lalu diperlukan kejelasan dan kemudahan dalam penyelesaian masalah kewarisan, baik dalam sumber hukum yang transparan maupun lembaga – lembaga peradilan yang menangani masalah kewarisan.
3.      Tujuan
            Sebagai suatu acuan untuk membahas berbagai kejadian Hukum terutama Hukum waris dan penyelesaiannya di Indonesia. Juga sebagai sarana untuk memberluas wawasan serta sebagai penjelas bagi para pelajar di bidang hukum waris agar dapat mengerti bagaimana Pluralisme Hukum Waris di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pluralisme Hukum Waris di Indonesia
        Hukum waris di Indonesia sudah ada sejak dahulu dan semakin berkembang hingga masa kini.Dimana hukum waris tersebut sangat beraneka ragam bentuknya dan terdapat golongan penduduk yang menganutnya.
Berikut adalah penggolangan penduduk yang tercantum didalamnya :
>          Golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka;
>          Golongan Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa;
>          Golongan Bumi Putera
Namun karena pesatnya perkembangan, penggolongan tersebut diatas dihapuskan berdasarkan Peraturan perundang-undangan RI UU No. 62 / 1958 dan Keppres No. 240 / 1967, dan kemudian diatur dalam Hukum Kewarisan Islam, Hukum Adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
            Ketiga sistem hukum tersebut masih mengandung unsur ciri-ciri dan karakteristik sendiri-sendiri, seperti halnya hukum waris Islam. Dalam Hukum waris Islam memberlakukan masyarakatnya dengan aturan tata cara pembagian harta pusaka, berapa besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan serta anak angkat, lembaga mana saja yang berhak memeriksa dan memutus sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara pihak ahli waris. Sedangkan bagi masyarakat non muslim, akan tunduk pada aturan hukum adatnya, bisa juga menganut hukum waris yang ada di KUHPer, ataupun kepercayaannya masing-masing.
Sedangkan dalam hukum waris adat terjadi pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari susunan kekeluargaan / kekerabatan serta kebiasaan yang dibawa oleh kekeluargaan / kekerabatan yang telah ada di berbagai wilayah Indonesia.

B. Perbandingan Hukum Waris di Indonesia
1. Hukum Waris Adat
Pengertian Hukum Waris Adat
Terdapat beberapa pengertian mengenai hukum waris adat menurut para ahli, sebagai berikut:
Hukum waris adat menurut Soepomo,1967 ; 72 “ Hukum waris adat merupakan peraturan yang memuat pengaturan mengenai proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak termasuk harta benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.”
Hukum waris adat menurut Ter Haar,1950 ; 197“ Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaanyang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.”
Dari dua pendapat di atas juga terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
>          Adanya Pewaris;
>          Adanya Harta Waris;
>          Adanya ahli Waris; dan
>          Penerusan dan Pengoperan harta waris.
Selain itu pengertian mengenai hukum waris adat tersebut mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa hukum waris adat adalah suatu proses mengenai pengalihan dan penerusan harta kekayaan baik yang bersifat materil maupun immateril dimana pengalihan dan penerusan harta kekayaan tersebut dilakukan oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Sifat Hukum Waris Adat
Adapun sifat Hukum Waris Adat dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
>   Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang;
>      Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam; dan
>    Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.      
 Sedangkan Hukum waris adat mempunyai beberapa ciri, yakni :
>       Tidak mengenal bagian tertentu bagi ahli waris yang ada kesamaan tiap waris dan mengutamakan ahli waris;
>       Harta peninggalan tidak merupakan kesatuan karena adanya perbedaaan pemilikan, jenis barang, keterikatan dengan masyarakat dan adanya peraturan tertentu;
>       Pewarisan tidak tentu artinya pembagian tidak dibolehkan atau ditunda sementara waktu;
>       Dikenal lembaga pewarisan;
>       Hibah diperhitungkan sebagai warisan;
>       Bagian ahli waris tidak tentu; dan
>    Harta warisan yaitu harta pewaris pada saat meninggal dunia atau harta yang sudah dibagi sebelum pewaris meninggal dunia.

Prinsip atau Azas Umum Hukum Waris Adat
>          Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.  Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh;
>          Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya;
>           Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling),artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.

Sistem Keturunan dan Kekerabatan Adat di Pedesaan
Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa:
“…hukum waris adat mempunyai corak  tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.”
Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada  umumnya disebabkan  oleh  adanya  pengaruh  dari  susunan / kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :
>          Pertalian keteurunan menurut garis laki-laki ( Patrilineal )
Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon
>          Pertalian keturuman menrut garis perempuan ( matrilineal )
Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )
>          Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak  ( Parental / Bilateral )
Contoh : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) , dll.
Disamping itu, dalam hal sistem pewarisan pun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 bagian yaitu :
>          Sistem Pewarisan Individual
Misalnya : Pada susunan kekeluargaan bilateral ( jawa ) & kekeluargaan patrilineal ( Batak )
>          Sistem Pewarisan Kolektif
Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah dati di Ambon.
>          Sistem Pewarisan Mayorat
Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain.
            Kemudian menurut Hilman Hadikusuma, 1993: 104 –105 warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akandibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadijuru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut adat kebiasaan waktu pembagiansetelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatanyang disebut tujuh hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelahpewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.Kalau harta warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan dengan cara seperti berikut :
>          Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris );
>          Anak laki-laki tertua atau perempuan;
>          Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana; dan
>          Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau pemukaagama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris.
Apabila dalam pembagian warisan terjadi sengketa diantara para pihak maka tatacara penyelesaiaa pembagiannya ada 2 kemungkinan, yakni :
>          Dengan cara segendong sepikul, artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan atau;
>          Dengan cara Dum Dum kupat, artinya dengan anak lelaki dan bagian anak perempuan seimbang (sama).

2. HUKUM WARIS BW
Hukum waris barat atau hukum waris BW atau KUHPer yang menganut sistem individual, dimana peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti eropa, cina, bahkan keturunan arab & lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini, aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan, walaupun beberapa peraturan yang  terdapat di dalam  KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti hukum perkawainan menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974, tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara.  Hal ini dapat dilihat pada bab  XIV   ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 / 1974 yang menyatakan :  Untuk perkawinan &  segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata ( BW), ordomensi perkawinan indonesia kristen ( Hoci  S.  1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898  No. 158 ) & peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang
menyatakan :
>          Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda ,
seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi
diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya
>          Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang
bertentangan dengan itu
>          Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama
waktu tertentu
>          Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat
diadakan lagi , kalau tenggang lima tahun itu telah lalu.
            Pewarisan sendiri dapat terjadi apabila memenuhi tiga persyaratan, seperti adanya seseorang yang meninggal ( si pewaris ), ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan menerima harta warisan dari pewaris apabila dia meninggal, dan ada sejumlah harta yang diwariskan.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.  Dan yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”. Apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
>          Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;
>          Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
>          Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu; dan
>          Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Warisan dalam sistem hukum waris BW
     Warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
>          Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
>          Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi; dan

>          Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.

Ahli Waris dalam Waris BW
Ahli waris menurut hukum waris BW hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
>          Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab intestate;
Yang termasuk dalam golongan ini ialah
1. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati),
2. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris,
3. Keluarga sedarah alami dari sipewaris.
>          Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair )
Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yangoleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.

Legitine Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya bagian ab
intestato dari legitimaris yang bersangkutan dengan perkatan lain legitine portie
adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato. Besarnya bagian mutlak anak-anak & keturunanyaterlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh pewaris.Dalam pasal 914 KUH Perdata yang padapokoknya menyebutkan:
>          Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak , maka legitine portie anak
itu adalah ½ dari harta peninggalan;
>          Jika yang ditinggalkan dua orang anak , maka legitine portie masing-masing
anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu; dan
>          Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih , maka bagian masing- masing
anak adalah 3/ 4 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu“ (Ibid , : 68).
Jadi yang dimaksud dengan tiga orang anak atau lebih adalah termasuk pula semua keturunannya , akan tetapi sebagai pengganti. Selain pengaturan pembagian ahli waris, didalam waris adat menurut Pasal 838 KUHPer juga menjelaskan mengenai siapa saja yang tidak mendapatkan hak untuk menerima pembagian harta waris, diantaranya adalah :
>          Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau melakukan percobaan pembunuhan terhadap pewaris;
          Mereka yang pernah divonis bersalah karena memfitnah pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau lebih;
>          Mereka yang mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat; dan
>          Mereka yang terbukti menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Hak-Hak yang Dimiliki Oleh Ahli Waris
KUHPer mengatur hak- hak ahli waris dalam menerima pembagian harta waris dari si pewaris. Hak- hak tersebut antara lain :
>          Hak untuk menuntut pemecahan harta peninggalan;
Kesepakatan untuk tidak membagi warisan adalah dalam waktu lima tahun, setelah lima tahun tersebut dapat diadakan kesepakatan kembali di antara para ahli waris, ( Pasal1066 KUHPerdata )
>          Hak saisine;
Seseorang dengan sendirinya karena hukum mendapatkan harta benda, segala hak, dan piutang dari pewaris, namun seseorang dapat menerima atau menolak bahkan mempertimbangkan untuk menerima suatu warisan, ( Pasal 838 KUHPerdata )
>          Hak beneficiary;
Hak beneficiary yakni hak untuk menerima warisan dengan meminta pendaftaran terhadap hak dan kewajiban, utang, serta piutang dari pewaris
>          Hak hereditas petition;
Hak hereditas petitio yakni hak untuk menggugat seseorang atau ahli waris lainnya yang menguasai sebagian atau seluruh harta warisan yang menjadi haknya, ( Pasal 834 KUHPerdata)
     Selain hak- hak diatas, masih ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
>          Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak; dan

>          Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak.


Dasar Hukum Mewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpasurat wasiat.Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
>          Menurut ketentuan Undang-undang; dan
>          Menurut atas tunjuk dalam surat wasiat.
Surat wasiat adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia.Sifat utama suratwasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun .

Peran Balai Harta Peninggalan dalam Pembagian Warisan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut.Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik negara.

3. HUKUM WARIS ISLAM
Sejarah dan Dasar Hukum Kewarisan Islam
     Hukum kewarisan menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut INPRES No. 1/1991 tentang KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a).
Menurut H.A Mukti Arto, aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu sistem hukum kewarisan yang sempurna dan tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah.Dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah:
>          Adanya hubungan nasab atau kekerabatan;
>          Adanya pengangkatan anak; dan
>          Adanya janji setia untuk bersaudara.
Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa.Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi.Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

Pihak-Pihak Dalam Hukum Waris Islam
Ada beberapa pihak yang terdapat dalam Hukum Waris Islam, diantaranya:
>          Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b); dan
>          Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf c). Selanjutnya, mengenai ahli waris tersebut secara lebih rinci dijelaskan dalam Pasal 172-175. Pasal-pasal tersebut membahas bagaimana seseorang terhalang menjadi ahli waris,Kelompok-kelompok ahli waris, kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.

Istilah dalam Pembagian Waris dalam Waris Islam
>          Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Pasal 171 huruf d);
>          Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Pasal 171 huruf e);
>          Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f);
>          Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171 huruf g);
>           Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h); dan
>          Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan (Pasal 171 huruf i).

Besarnya Bahagian Waris
Besarnya bahagian waris islam dalam KHI diatur pada Bab III Pasal 176-191 yang dapat dijabarkan secara garis besar sebagi berikut:
>           Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176);
>          Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177). Maksud pasal ini ialah ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994);
>          Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian (Pasal 178 (1)). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah (Pasal 178 (2));
>          Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian (Pasal 179);
>          Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180);
>          Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebihmaka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian (Pasal 181);
>          Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan (Pasal 182);
>          Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183);
>          Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga (Pasal 184);
>          Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Pasal 185 (1)). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat denganyang diganti (Pasal 185 (2));
>          Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186);
>          Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
>          Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
>          Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c (Pasal 187 (1)).
>          Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (Pasal 187 (2))
>          Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188);
>          Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189 (1)). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing (Pasal 189 (2));
>          Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya (Pasal 190); dan bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191).

1 komentar:

  1. Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan Blackjack Nomor Satu di Indonesia SALAMPOKER(COM)
    Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !

    BalasHapus